Oleh: Jajang Suryana
Yang diunggah pada Sabtu, 2
Januari 2010
Sebuah
kondisi umum yang ditemukan dalam gambar anak-anak dengan pola "gunung
kembar" adalah 2 bidang 'luas' yang sulit ditaklukkan oleh anak-anak. Pola
gambar tersebut menyisakan dua ruang bidang gambar yang penggarapannya bisa
melelahkan. Seseorang yang ingin mengisi kedua bidang tersebut, harus berpikir
"bagaimana mengisi lahan luas di depan penggambar hingga ujung kaki
gunung"? Kesadaran bahwa antara gunung dengan penggambar ada 'jarak' yang
amat luas, amat jauh, memaksa penggambar harus bersusah payah mengisikan banyak
objek dalam dua bagian lahan tadi.
Sebuah pemecahan masalah yang lazim ditemukan adalah, setelah menempatkan jalan lurus atau berkelok (ini bagian pola 'wajib' dalam pola gambar "gunung kembar"), adalah mengisi bidang kiri dengan gambar petak-petak sawah atau tegalan yang berpohon jarang, dan sebelah kanan dengan ruang berair sejenis danau atau laut.
Sebuah pemecahan masalah yang lazim ditemukan adalah, setelah menempatkan jalan lurus atau berkelok (ini bagian pola 'wajib' dalam pola gambar "gunung kembar"), adalah mengisi bidang kiri dengan gambar petak-petak sawah atau tegalan yang berpohon jarang, dan sebelah kanan dengan ruang berair sejenis danau atau laut.
Bagi
anak-anak sekolah TK dan SD kelas rendah, kondisi itu tidak terlalu
memberatkan. Tetapi bagi anak-anak kelas 5 dan 6 SD misalnya, apalagi remaja
SMP dan SMA, mereka dibebani oleh 'keharusan' mengisi ruang dengan objek gambar
yang "rasional". Beban inilah yang kerap dikeluhkan oleh anak-anak
dan remaja yang sejak awal hanya bisa menggambar mengikuti pola "gunung
kembar".
Anak-anak
yang pola berpikir ruangnya telah mengikuti pola pikir teori gambar perspektif,
di antaranya bisa mengatasi beberapa kendala pola gambar "gunung
kembar" itu. Misalnya, mereka menemukan bahwa objek yang dekat dengan
penggambar ukurannya lebih besar, sementara gambar objek lainnya yang jauh dari
penggambar, dibuat dengan ukuran lebih kecil, dan sebagian terhalang objek yang
lebih dekat posisinya. Ada juga yang menemukan cara "perebahan" yang
khas. Contohnya, ketika ada gambar objek jalan yang telah dibuat, maka gambar
pohon, tiang listrik, rumah, kendaraan, atau objek lainnya direbahkan ke arah
sisi jalan yang berbeda: ke kiri dan ke kanan. Dan yang lebih unik, ketika ada
gambar sebuah lapangan atau kolam dengan dasar gambar segi empat, objek-objek
akan digambarkan rebah keempat arah sisi bentuk sebi empat objek. Namun
kebanyakan anak dan remaja mengalami kesulitan karena mereka menggunakan pola
gambar perspektif burung: semua objek digambar dengan posisi penggambar dari
arah atas.
Satu
pola lagi yang kerap ditemukan sebagai bentuk penaklukan ruangan perspektifis pada
anak dan remaja adalah pola susun yang biasa digunakan dalam lukisan
tradisional. Objek disusun berderet ke arah bidang atas. Objek yang jauh
ditempatkan lebih di atas.
Yang
perlu mendapat perhatian guru dan orang tua adalah beban berat yang dihadapi anak-anak
ketika mereka telah sangat kuat terikat pola gambar "gunung kembar".
Anak-anak menghadapi bidang gambar yang harus diisi begitu banyak objek
(tuntutan rasio), sementara mereka memiliki keterbatasan imajinasi. Jalan
keluar menghadapi permasalahan itu adalah mengenalkan pola perspektif objek,
bahwa benda-benda yang ada di alam tidak berposisi sama semuanya. Objek-objek
selalu menempati ruang yang berbeda (:contohkan dengan melihat benda-benda
sebenarnya di alam). Menggambar alam, sebaiknya melihat langsung alamnya.
Menggambar menggunakan imajinasi semata kerap berbentrokan dengan pertimbangan
rasio. Pertimbangan rasio itulah yang sering membebani anak-anak dan remaja.
Melihat
ulasan tadi, memang benar bahwa gambar dengan pola gunung kembar mulai muncul
pada anak yang telah memasuki jenjang pendidikan TK dan SD. Padahal saat
sebelum mengeyam suatu pendidikan, daya imajinasi anak untuk menciptakan gambar
sangatlah beraneka ragam. Namun, saat memasuki jenjang pendidikan tersebut,
daya imajinasi anak cenderung berkurang. Anak lebih sering mengikuti
gambar-gambar yang telah ada, sehingga lama kelamaan daya imajinasi untuk
menciptapun sedikit demi sedikit berkurang, salah satu contohnya yaitu gunung
kembar yang senantiasa ada pada setiap gambar anak.
Nah,
untuk menanggulangi hal tersebut guru sebaiknya menerapkan berbagai macam
teknik maupun metode dalam setiap pembelajaran khususnya pembelajaran seni rupa
untuk menggali daya imajinasi anak didik, sehingga gambar anak tidak hanya
mengikuti pola gunung kembar yang senantiasa diwariskan secara turun temurun.
Selain itu, dalam pembelajaran guru sebaiknya memberikan tema pada setiap tugas
yang diberikan. Sehingga, murid tidak hanya terpaku pada hal yang biasa mereka
kerjakan sebagai objek gambar, namun keluar dari hal-hal biasa yang sering
mereka pikirkan. Dan sebaiknya, sesekali anak diajak untuk pergi ke suatu
tempat dan menugaskan mereka untuk menggambar salah satu atau lebih objek yang
mereka anggap menarik. Maka, dengan demikian anak akan dapat menggambar sesuai
dengan apa yang mereka lihat, bukannya hanya mengikuti pola gambar yang
diwariskan (senior).
Berikut beberapa contoh gambar yang menggunakan pola "gunung kembar".
Tegalan yang luas, dalam pola gambar "gunung kembar", menjadi beban tersendiri bagi anak-anak yang telah 'dikuasai' pertimbangan rasionya.
Bagian lahan berair menjadi pilihan yang dianggap ‘aman’ untuk mengisi ruang gambar yang luas, di samping tegalan yang tak rimbun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar